Rabu, 26 Maret 2014

DESA CEPIRING

Cepiring, Kendal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Cepiring
—  Kecamatan  —
Negara  Indonesia
Provinsi Jawa Tengah
Kabupaten Kendal
Pemerintahan
 • Camat -
Luas - km²
Jumlah penduduk -
Kepadatan - jiwa/km²
Desa/kelurahan -
Cepiring adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kata "Cepiring" berasal dari singkatan kata "Ceplok Piring", satu nama bunga seperti melati dengan ukuran yang sedikit lebih besar yang dulu banyak dijumpai di daerah ini. namun ada juga yang menyebutkan Cepiring, berasal dari kata "nanCEP PRING" menancap bambu
Sebagai salah satu kota kecil di jalur Pantura, tidak ada yang spesial di kecamatan ini selain karena keberadaan Pabrik Gula-nya. Pabrik yang didirikan oleh Belanda sejak tahun 1908 ini merupakan salah satu bukti kejayaan kota kecil ini sebagai pusat industri dan kebudayaan. pabrik gula tersebut dikelola oleh PTPN. IX , namun seiring berkurangnya pasokan tebu, Pabrik gula tersebut tutup tahun 1998 akibatnya kegiatan wiwitan yang menjadi hiburan masyarakat cepiring sebagai penanda dimulainya awal giling tebu menjadi tidak ada. pada tahun 2008 kegiatan operasional pabrik gula dihidupkan kembali dengan dikelola oleh PT. Industri Gula Nusantara yang sahamnya dimiliki oleh PT. Multi gendis manis serta PTPN . IX , di depan pabrik gula tersebut terdapat warung makan "Jawa Asli" dengan menu utama masakan jawa seperti rames. guded serta rawon. serta terdapat warung makan Mie Ayam Mas Kin yang terkenal dengan kelezatannya. ada juga warung makan sebelah kiri jalan dari arah jakarta yakni Warung Makan "BUDI DAYA". dulu Cepiring memiliki gedung bioskop dengan anama " SRI AGUNG THEATER" namun sejak tahun 1990 sudah tutup karena kalah bersaing dengan VCD Player yang mulai menjamur. Kecamatan Cepiring terdapat Sanggar kegiatan belajar/ SKB untuk pendidikan non-formal maupun formal yakni untuk kejar Paket A s/d C.. terdapat berbagai tingkat sekolah di Cepiring mulai dari Penitipan Anak di jalan Anggrek Desa Botomulyo, PAUD di SKB, berbagai macam Taman Kanak Kanak, sampai dengan Sekolah Menengah Atas Negeri Cepiring

Desa/kelurahan

KOTA KENDAL

Sejarah Kabupaten Kendal

Nama Kendal diambil dari nama sebuah pohon yakni Pohon Kendal. Pohon yang berdaun rimbun itu sudah dikenal sejak masa Kerajaan Demak pada tahun 1500 – 1546 M yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Trenggono. Pada awal pemerintahannya tahun 1521 M, Sultan Trenggono pernah memerintah Sunan Katong untuk memesan Pusaka kepada Pakuwojo. Peristiwa yang menimbulkan pertentangan dan mengakibatkan pertentangan dan mengakibatkan kematian itu tercatat dalam Prasasti. Bahkan hingga sekarang makam kedua tokoh dalam sejarah Kendal yang berada di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu itu masih dikeramatkan masyarakat secara luas.
Menurut kisah, Sunan Katong pernah terpana memandang keindahan dan kerindangan pohon Kendal yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sambil menikmati pemandangan pohon Kendal yang nampak “sari” itu, Beliau menyebut bahwa di daerah tersebut kelak bakal disebut “Kendalsari”. Pohon besar yang oleh warga masyarakat disebut-sebut berada di pinggir Jln Pemuda Kendal itu juga dikenal dengan nama Kendal Growong karena batangnya berlubang atau growong.
Dari kisah tersebut diketahui bahwa nama Kendal dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah atau daerah setelah Sunan Katong menyebutnya. Kisah penyebutan nama itu didukung oleh berita-berita perjalanan Orang-orang Portugis yang oleh Tom Peres dikatakan bahwa pada abad ke 15 di Pantai Utara Jawa terdapat Pelabuhan terkenal yaitu Semarang, Tegal dan Kendal. Bahkan oleh Dr. H.J. Graaf dikatakan bahwa pada abad 15 dan 16 sejarah Pesisir Tanah Jawa itu memiliki yang arti sangat penting.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Kendal

Adalah seorang pemuda bernama Joko Bahu putra dari Ki Ageng Cempaluk yang bertempat tinggal di Daerah Kesesi Kabupaten Pekalongan. Joko Bahu dikenal sebagai seorang yang mencintai sesama dan pekerja keras hingga Joko Bahu pun berhasil memajukan daerahnya. Atas keberhasilan itulah akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengangkatnya menjadi Bupati Kendal bergelar Tumenggung Bahurekso. Selain itu Tumenggung Bahurekso juga diangkat sebagai Panglima Perang Mataram pada tanggal 26 Agustus 1628 untuk memimpin puluhan ribu prajurit menyerbu VOC di Batavia. Pada pertempuran tanggal 21 Oktober 1628 di Batavia Tumenggung Bahurekso beserta ke dua putranya gugur sebagai Kusuma Bangsa. Dari perjalanan Sang Tumenggung Bahurekso memimpin penyerangan VOC di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1628 itulah kemudian dijadikan patokan sejarah lahirnya Kabupaten Kendal.
Perkembangan lebih lanjut dengan momentum gugurnya Tumenggung Bahurekso sebagi penentuan Hari jadi dinilai beberapa kalangan kurang tepat. Karena momentum tersebut merupakan sejarah kelam bagi seorang tokoh yang bernama Bahurekso. Sehingga bila tanggal tersebut diambil sebagai momentum hari jadi dikhawatirkan akan membawa efek psikologis. Munculnya istilah “gagal dan gugur” dalam mitologi Jawa dikawatirkan akan membentuk bias-bias kejiwaan yang berpengaruh pada perilaku pola rasa, cipta dan karsa warga Kabupaten Kendal, sehingga dirasa kurang tepat jika dijadikan sebagai pertanda awal mula munculnya Kabupaten Kendal.
Dari Hasil Seminar yang diadakan tanggal 15 Agustus 2006, dengan mengundang para pakar dan pelaku sejarah, seperti Prof. Dr. Djuliati Suroyo ( guru besar Fakultas sastra Undip Semarang ), Dr. Wasino, M.Hum ( dosen Pasca Sarjana Unnes ) H. Moenadi ( Tokoh Masyarakat Kendal dengan moderator Dr. Singgih Tri Sulistiyono. serta setelah diadakan penelitian dan pengkajian secara komprehensip menyepakati dan menyimpulkan bahwa momentum pengangkatan Bahurekso sebagai Bupati Kendal, dijadikan titik tolak diterapkannya hari jadi. Pengangkatan bertepatan pada 12 Rabiul Awal 1014 H atau 28 Juli 1605. Tangal tersebut persis hari Kamis Legi malam jumat pahing tahun 1527 Caka. Penentuan Hari Jadi ini selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Kendal Nomor 20 Tahun 2006, tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah no 20 Tahun 2006 Seri E nomor 15)

Pemerintahan Kabupaten Kendal Sekarang dan Jaman Doeloe

Kaliwungu pernah berjaya sebagai pusat pemerintahan sejak awal berdirinya Kabupaten Kendal. Namun karena kondisi perpolitikan di pusat Mataram pada waktu itu dan adanya pertimbangan untuk perkembangan pemerintahan, menyebabkan pusat pemerintahan tersebut pindah ke kota Kendal hingga sekarang. Sehingga akhirnya Kaliwungu hanya digunakan untuk tempat tinggal kerabat Ayahanda Bupati yang sering disebut sebagai Kasepuhan. Sedangkan pemerintahannya dijadikan sebagai daerah administrasi yaitu Distrik Kaliwungu.

ASAL USUL KOTA KALIWUNGU

Sejarah nama Kaliwungu
Memang tidak ada data yang akurat bila bercerita soal asal-usul sebuah tempat, dan semuanya berdasarkan cerita tutur. Begitu pula asal-usul nama kota Kaliwungu yang akan diceritakan di bawah ini.
Cerita tutur tentang kota Kaliwungu ditemukan ada tiga versi, yang berarti ada tiga cerita yang berkembang dan ketiganya ada yang rasional dan irasional.
Cerita pertama, nama itu murni berhubungan langsung dengan perjalanan Sunan Katong bersama pengikutnya. Yaitu ketika Sunan Katong tiba di suatu tempat, dan merasa lelah, maka ia dengan dijaga oleh pengikutnya istirahat dan tiduran atau Qoilulah di bawah sebuah pohon ungu yang letaknya di tepi (condong) ke sungai. Dari sinilah muncul ucapan Sungai = Kali, di bawah pohon Ungu,yang diucapkan menjadi satu kata, menjadi Kaliwungu. Sedangkan sungai tempat istirahat dan tiduran Sunan Katong, sekarang ini dinamakan sungai (kali) Sarean. Nama-nama itu langsung terucap oleh Sunan Katong sendiri. Cerita tutur ini sudah berkembang di masyarakat dan mendapat tempat yang kuat.
Cerita kedua, Kaliwungu berasal dari adarah ungu yang mengalir seperti kali (sungai), atau darah ungu itu mengalir bagaikan sungai atau kali. Disebutkan oleh cerita tutur, bahwa ceritanya bermula dari perkelahian dua pendekar, yaitu Sunan Katong dan Empu atau Pangeran Pakuwojo. Keduanya tewas bersama dan darahnya mengalir seperti mengalirnya air sungai dengan warna ungu, darah putih bercampur dengan darah merah kehitam-hitaman.
Tewasnya keduau tokoh diawalai dengan kesalahpahaman yang didahului oleh kemarahan yang meletup-letup. Pakuwojo marah karena anaknya tidak mau menuruti kehendaknya, dan melarikan diri minta perlindungan Sunan Katong. Kemarahan Pakuwojo memuncak karena ada orang yang melindungi anaknya berarti menantang dirinya. Keris Pakuwojo yang sudah dikeluarkan dari rangkanya langsung ditancapkan ke tubuh orang yang melindungi anaknya yang tidak lain adalah Sunan Katong, gurunya sendiri. Setelah sadar dan melihat bahwa yang baru saja ditikam adalah gurunya sendiri, lemaslah Pakuwojo. Pakuwojo lalu minta ampun dan mendekatkan tubuhnya serta bersujud di kaki Sunan Katong. Dengan sisa-sisa tenaga, Sunan Katong mencabut keris yang menancap pada dirinya, dan langsung ditusukkan ke tubuh Pakuwojo. Dua tokoh yang berbeda aliran itu tewas secara bersama. Darah putih bercampur dengan darah merah kehitam-hitaman, menjadi warna ungu, mengalir bagaikan sungai (kali). Kaliwungu begitu nama di akhir zaman.
Cerita turur versi kedua ini memang alur tuturnya sangat berhubungan dengan versi pertama. Maka kedua jenis cerita tutur itu sudah mendapat dukungan kuat dari masyarakat.
Cerita ketiga, Ketika Raden Ronggo Wongsoprono, putera Pangeran Djoeminah memanggul jenazah Tumenggung Mandurorejo. Sebagaimana pesan Sultan Agung Raja Mataram, jenazah Mandurorejo supaya dimakamkan di tanah Prawoto. Karena waktu sholat sudah mengundang, maka Ki Ronggo Wongsoprono istirahat dan jenazahnya diletakkandi pinggir kali. Ketika Raden Ronggo selesai membersihkan badan dan berwudlu, dilihatnya jenazah Mandurorejo tangi, wungu (bangun). Dan disebutnya menjadi Kaliwungu. Itulah khazanah cerita.
Kembali Raden Ronggo membawa jenazah tersebut untuk dibawa ke tanah Prawoto yang oleh Raden Ronggo sendiri belum diketahui dimana letaknya. Ketika berjalan mencari tempat yang dituju sesuai petunjuk SUltan, Raden Ronggo bertemu dengan seseorang. "Kisanak, tempat apakah ini?" tanya Raden Ronggo. Orang yang dijumpainya menjawab bahwa tanah ini adalah tanah Proto. Oleh Raden Ronggo dipahami bahwa Proto dengan Prawaoto memiliki arti sama, dan sesuai dengan perintah Sultan, maka di daerah Proto itulah Tumenggung Mandurorejo dimakamkan.

ASAL USUL UJUNGSEMI



Sejarah Singkat

Pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Mataram melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Agung. Sedangkan perlawanan di Kendal dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso selaku Adipati dan Gubernur di pesisir Laut Jawa. Tumenggung Bahurekso memutuskan persiapan perang dilakukan dengan melakukan pertemuan yang disepakati di tempat yang dirahasiakan. Tempat yang dipilih terletak di tengah, tepatnya di bawah pohon kemangi yang terletak disebuah desa, yang nantinya dikenal sebagai Jungsemi.
Asal muasal kata Jungsemi berasal dari dua kata yaitu Ujung dan Semi. Dalam Bahasa Jawa ujung berarti pangkal dan semi berarti tambahan atau selalu bersemi. Jadi secara singkat Jungsemi berarti desa yang terletak di ujung utara atau pantai utara laut yang selalu bertambah luas.

Kondisi Geografis
Desa Jungsemi merupakan salah satu Desa di Kecamatan Kangkung dengan batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah Utara : Laut Jawa
- Sebalah Timur : Desa Tanjungmojo
- Sebelah Selatan : Desa Kangkung
- Sebelah Barat : Desa Karangmalang Wetan, Desa Sendang Kulon
Secara administrasi Desa Jungsemi dibagi menjadi 3 dukuh yaitu Dukuh Clumprit, Kemejing, dan Srandu dengan 27 RT dan 4 RW. Jumlah penduduk 5.587 jiwa (2786 penduduk laki-laki dan 2801 penduduk perempuan). Adapun letak geografis Desa Jungsemi Kecamtan Kangkungadalah dengan luas wilayah 6,08 km2 atau 15,59% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Kangkung.
Sedangkan jarak administrasi ke pusat kota pemerintahan adalah :
- Jarak dengan ibu kota Kecamatan    : ±2 km
- Jarak dengan ibu kota Kabupaten    : ±15 km