Sejarah nama Kaliwungu
Memang tidak ada data yang akurat bila bercerita soal asal-usul sebuah
tempat, dan semuanya berdasarkan cerita tutur. Begitu pula asal-usul
nama kota Kaliwungu yang akan diceritakan di bawah ini.
Cerita tutur
tentang kota Kaliwungu ditemukan ada tiga versi, yang berarti ada tiga
cerita yang berkembang dan ketiganya ada yang rasional dan irasional.
Cerita pertama, nama itu murni berhubungan langsung dengan perjalanan
Sunan Katong bersama pengikutnya. Yaitu ketika Sunan Katong tiba di
suatu tempat, dan merasa lelah, maka ia dengan dijaga oleh pengikutnya
istirahat dan tiduran atau Qoilulah di bawah sebuah pohon ungu yang
letaknya di tepi (condong) ke sungai. Dari sinilah muncul ucapan Sungai =
Kali, di bawah pohon Ungu,yang diucapkan menjadi satu kata, menjadi
Kaliwungu. Sedangkan sungai tempat istirahat dan tiduran Sunan Katong,
sekarang ini dinamakan sungai (kali) Sarean. Nama-nama itu langsung
terucap oleh Sunan Katong sendiri. Cerita tutur ini sudah berkembang di
masyarakat dan mendapat tempat yang kuat.
Cerita kedua, Kaliwungu
berasal dari adarah ungu yang mengalir seperti kali (sungai), atau
darah ungu itu mengalir bagaikan sungai atau kali. Disebutkan oleh
cerita tutur, bahwa ceritanya bermula dari perkelahian dua pendekar,
yaitu Sunan Katong dan Empu atau Pangeran Pakuwojo. Keduanya tewas
bersama dan darahnya mengalir seperti mengalirnya air sungai dengan
warna ungu, darah putih bercampur dengan darah merah kehitam-hitaman.
Tewasnya keduau tokoh diawalai dengan kesalahpahaman yang didahului
oleh kemarahan yang meletup-letup. Pakuwojo marah karena anaknya tidak
mau menuruti kehendaknya, dan melarikan diri minta perlindungan Sunan
Katong. Kemarahan Pakuwojo memuncak karena ada orang yang melindungi
anaknya berarti menantang dirinya. Keris Pakuwojo yang sudah dikeluarkan
dari rangkanya langsung ditancapkan ke tubuh orang yang melindungi
anaknya yang tidak lain adalah Sunan Katong, gurunya sendiri. Setelah
sadar dan melihat bahwa yang baru saja ditikam adalah gurunya sendiri,
lemaslah Pakuwojo. Pakuwojo lalu minta ampun dan mendekatkan tubuhnya
serta bersujud di kaki Sunan Katong. Dengan sisa-sisa tenaga, Sunan
Katong mencabut keris yang menancap pada dirinya, dan langsung
ditusukkan ke tubuh Pakuwojo. Dua tokoh yang berbeda aliran itu tewas
secara bersama. Darah putih bercampur dengan darah merah
kehitam-hitaman, menjadi warna ungu, mengalir bagaikan sungai (kali).
Kaliwungu begitu nama di akhir zaman.
Cerita turur versi kedua
ini memang alur tuturnya sangat berhubungan dengan versi pertama. Maka
kedua jenis cerita tutur itu sudah mendapat dukungan kuat dari
masyarakat.
Cerita ketiga, Ketika Raden Ronggo Wongsoprono,
putera Pangeran Djoeminah memanggul jenazah Tumenggung Mandurorejo.
Sebagaimana pesan Sultan Agung Raja Mataram, jenazah Mandurorejo supaya
dimakamkan di tanah Prawoto. Karena waktu sholat sudah mengundang, maka
Ki Ronggo Wongsoprono istirahat dan jenazahnya diletakkandi pinggir
kali. Ketika Raden Ronggo selesai membersihkan badan dan berwudlu,
dilihatnya jenazah Mandurorejo tangi, wungu (bangun). Dan disebutnya
menjadi Kaliwungu. Itulah khazanah cerita.
Kembali Raden Ronggo
membawa jenazah tersebut untuk dibawa ke tanah Prawoto yang oleh Raden
Ronggo sendiri belum diketahui dimana letaknya. Ketika berjalan mencari
tempat yang dituju sesuai petunjuk SUltan, Raden Ronggo bertemu dengan
seseorang. "Kisanak, tempat apakah ini?" tanya Raden Ronggo. Orang yang
dijumpainya menjawab bahwa tanah ini adalah tanah Proto. Oleh Raden
Ronggo dipahami bahwa Proto dengan Prawaoto memiliki arti sama, dan
sesuai dengan perintah Sultan, maka di daerah Proto itulah Tumenggung
Mandurorejo dimakamkan.